Likuifaksi adalah kondisi dimana tanah mengalami kehilangan kekuatan serta kekakuan sehingga menyebabkan tanah menjadi mudah bergeser yang dapat disebabkan oleh gempa atau pergeseran tanah lainnya. Fenomena tersebut terjadi pada tanah tak terkonsolidasi yang jenuh air yang terkena dampak gelombang S seismik (gelombang sekunder), yang menyebabkan getaran tanah pada saat gempa. Ketika mengalami getaran tersebut sifat lapisan tanah berubah menjadi seperti cairan sehingga tak mampu menopang beban bangunan di dalam atau di atasnya. Sebelum gempa bumi terjadi, tekanan air pada suatu tanah secara relatif rendah. Namun setelah menerima getaran, tekanan air dalam tanah meningkat, sehingga dapat menggerakkan partikel-partikel tanah dengan mudah. Setelah digerakkan oleh air, maka partikel tanah tidak lagi memiliki kekuatan atau daya dukung, sehingga daya dukung tanah sepenuhnya berasal dari tegangan air pori. Pada kondisi ini, tanah sudah berbentuk cairan yang tidak lagi memiliki kestabilan, sehingga beban – beban yang ada di atas tanah tersebut seperti beban dari struktur bangunan akan amblas ke dalam.
Endapan atau deposit tanah yang berpotensi mengalami likuifaksi ketika diberikan beban siklik (beban bolak-balik) adalah pasir halus (sand), pasir berlumpur (silty sand), dan pasir lepas (loose sand). Karena hanya terjadi di tanah yang jenuh, likuifaksi umumnya terjadi di dekat sungai, teluk, atau badan air lainnya (Kramer, 1996).
Di dalam bidang ketekniksipilan fenomena likuifaksi kerap terjadi secara sengaja karena adanya peledakan, pemadatan tanah, dan vibro flotasi yang menggunakan alat getar untuk mengubah struktur butir tanah di sekitarnya. Bahaya yang dapat ditimbulkan oleh likuifaksi menurut Idriss (2008), umumnya dapat berupa semburan pasir (sand boiling) atau semburan lumpur (mud spouts) dan kerusakan pada permukaan.
Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan tanah mengalami proses likuifaksi. Berdasarkan hasil uji laboratorium serta observasi dan studi lapangan, menurut Day (2001) faktor-faktor tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
Tanah akan mengalami likuifaksi apabila tanah tersebut diberikan getaran. Karakteristik gerakan tanah seperti percepatan dan durasi gempa dapat menentukan regangan geser yang menyebabkan reaksi antar partikel tanah dan peningkatan tekanan air pori berlebih sehingga terjadi likuifaksi. Potensi likuifaksi dapat meningkat seiring intensitas gempa dan lamanya guncangan terjadi.
Kondisi yang paling rentan untuk likuifaksi adalah permukaan tanah yang dekat dengan muka air tanah. Hal ini disebabkan karena tanah tidak jenuh yang terletak di atas permukaan air tanah tidak akan mengalami likuifaksi.
Ishihara (1985) menyatakan bahwa peristiwa likuifaksi yang pernah terjadi selama gempa bumi telah ditemukan dalam endapan yang terdiri dari pasir halus sampai sedang dan pasir yang mengandung rasio plastisitas yang rendah. Dengan demikian, jenis tanah yang rentan terhadap likuifaksi adalah tanah non plastis (non kohesif). Diperkirakan tanah non kohesi yang rentan terhadap likuifaksi adalah pasir bersih (clean sands), pasir berlumpur non plastis (non plastic silty sands), lumpur non plastis (non plastic silt) dan kerikil (gravel).
Berdasarkan studi lapangan, tanah non-kohesif yang mempunyai kepadatan relatif yang lepas rentan terhadap likuifaksi. Jika tanah memiliki density yang semakin besar maka akan semakin besar tahanannya terhadap potensi likuifaksi.
Tanah yang memiliki gradasi seragam (uniformly graded soil) cenderung tidak stabil dan lebih rentan terhadap likuifaksi daripada tanah yang bergradasi baik (well-graded soil). Tanah dengan gradasi baik memiliki partikel yang saling mengisi rongga dan mengurangi potensi kontraksi tanah sehingga menghasilkan tekanan air pori yang lebih sedikit selama gempa bumi. Selain itu, gradasi tanah pada D50 yang memiliki ukuran butir 0,15 mm hingga 0,35 mm berpotensi mengalami likuifaksi.
Jika tekanan air pori berlebih dapat dengan cepat terdisipasi, maka kemungkinan tidak akan terjadi likuifaksi. Oleh karena itu, drainase dengan kerikil permeabel atau lapisan kerikil dapat mengurangi potensi terjadinya likuifaksi. Selain itu, endapan alami yang terbentuk di danau, sungai, atau lautan cenderung membentuk lapisan konsistensi tanah lepas dan terjadi segregasi sehingga lebih rentan terhadap likuifaksi. Tanah yang sangat rentan terhadap likuifaksi terbentuk di lingkungan pengendapan lacustrine, alluvial, dan marine.
Menurut Finn et al. (1970) dan Seed et al. (1975), historis lingkungan tanah dapat mempengaruhi potensi likuifaksi. Misalnya, tanah yang sudah lama mengendap telah mengalami guncangan seismik akan meningkatkan ketahanan likuifaksi dibandingkan dengan tanah baru yang sama dan memiliki kerapatan identik.
Ada beberapa cara untuk mengatasi likuifaksi tanah, diantaranya modifikasi fisik, densifikasi, mengangkat tekanan air di pori-pori tanah, dan penguatan fondasi bangunan. Cara tersebut adalah cara konvensional, yaitu meningkatkan kepadatan relatif pada pasir. Upaya ini memerlukan perawatan intensif dan terus menerus. Penerapan tersebut biasanya memakan biaya sangat besar karena besaran tanah yang hendak diatasi biasanya luas, oleh karena itu ada solusi yang lebih hemat biaya untuk pengolahan cairan.
Pendekatan baru untuk mitigasi (mengurangi dampak bencana) karena likuifaksi tanah adalah dengan memasukkan gelembung gas ke dalam tanah. Gelembung gas akan mengurangi kelebihan pori air di tanah dan bebannya akan berkurang cukup signifikan. Sebagai alternatif, memasukkan gelembung gas ke dalam tanah menggunakan mikroorganisme. Metode ini disebut desaturasi biogas yang dikembangkan oleh Shifan Wu, Jian Chu, dan Jia He.
Sumber :
Hutagalung, M & Tarigan, S.D. (2019). Analisis Potensi Likuifaksi Akibat Gempa (Studi Kasus : Reklamasi Pelabuhan Kontainer Belawan Fase-2). Jurnal Rekayasa Konstruksi Mekanika Sipil, 2614-5707
Raffety, P. J. (2011). Soil Liquefaction, https://www.britannica.com/science/soil-liquefaction, diakses pada tanggal 30 Oktober 2022
Nurbani, Gea (2019) TA: ANALISIS POTENSI LIKUIFAKSI PADA TANAH PASIR AKIBAT BEBAN GEMPA STUDI KASUS MATARAM NUSA TENGGARA BARAT. Skripsi thesis, Institut Teknologi Nasional.